Kamis, Januari 22, 2009

Masuk di Malam Hari, Bermodal Senter dan Tali

Satu Jam di Terowongan Rahasia Penghubung Gaza dengan Mesir
Laporan KARDONO SETYORAKHMADI, Rafah --
Tugas seorang kurir yang membawa makanan dan sembako dari Rafah Mesir ke wilayah Gaza, Palestina, yang sedang diblokade Israel sangat berisiko. Untuk bayaran yang sedikit itu, mereka rela mempertaruhkan nyawa. Seperti apa rasanya jadi kurir itu?

RAFAH yang ada di bagian wilayah Mesir hanyalah sebuah kota kecil. Kira-kira sebesar Krian, sebuah kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, Jatim. Kota itu nyaris tanpa dinamika. Tidak ada hotel maupun sambungan internet. Hanya ada toko-toko dan warung-warung kecil. Yang mencolok justru kehadiran militer. Maklum, di wilayah perbatasan itu sering terjadi konflik antara pejuang Hamas dan Israel.

Karena kondisi itulah, para wartawan lebih senang menetap di El Arish, ibu kota Provinsi Sinai Utara yang terletak sekitar 40 kilometer dari Rafah. Fasilitas di El Arish lumayan lengkap. Ada empat hotel dan sekitar sepuluh warnet.

Makbar Rafah sendiri –perbatasan Mesir-Palestina yang dipagari tembok beton atau pagar besi serta jalan patroli tentara– terletak di sisi timur luar Kota Rafah. Areal itu terletak di tengah perkebunan dan gurun. Di sisi kiri dan kanan hanya ada satu-dua rumah penduduk. Jadi, sehari-hari memang sepi. Seperti malam itu, kami berlima saat menuju terowongan rahasia dengan menyusuri Makbar Rafah ke arah utara, hanya mendengar sepatu kami yang menyaruk tanah gurun yang kering.

Salman yang pernah menjadi kurir terowongan mengakui, saat yang paling pas untuk pergi ke anfaq (terowongan) adalah setelah Salat Magrib. ’’Tidak banyak penjaga (yang berpatroli di Makbar Rafa). Kalau terlalu malam (dia menyebut di atas pukul 20.00) malah banyak intel berkeliaran. Saya tak mau menanggung risiko,’’ katanya.

Saat berangkat sebetulnya kami sudah menyiapkan lampu senter dan tali tambang. Namun, saat melewati jalan setapak yang gelap itu Salman tak pernah menyalakan senter. Meski demikian, karena sudah menguasai medan, Salman yang membimbing kami di depan selalu melangkah dengan yakin. ’’(Kalau dinyalakan) Mengundang perhatian,’’ kata pemuda berusia 22 tahun itu.

Kami terus berjalan menuju ke utara sampai kemudian kaki kami menginjak sebuah jalan aspal. ’’Sudah semakin dekat tembok. Itu Rafah Palestina,’’ katanya seraya menunjuk deretan bangunan yang terletak sekitar 1 kilometer dari tempat kami berdiri.

Dari jalan aspal, kami kemudian melompat lagi dan berjalan melalui perkebunan. Menurut dia, di areal perkebunan itu ada enam terowongan. ’’Semuanya sebetulnya ditemukan polisi dan diledakkan. Namun, yang satu lubang berhasil kami gali lagi. Longsorannya tak terlalu parah,’’ tuturnya.

Akhirnya kami sampai di terowongan yang dimaksud Salman. Letaknya tepat di tengah perkebunan. Cukup jauh dari jalan setapak yang kami lewati tadi. Diapit semak-semak dan pohon tin, mulut terowongan itu ditutupi rerumputan. Sekilas sulit menyangka ada mulut terowongan di sana. Diameternya pun kecil. Sekitar satu meter lebih sedikit. Tapi, cukup untuk satu orang masuk.

Salman meyakinkan lubang ini cukup aman. Sebab, polisi Mesir tak mengira bahwa lubang yang sudah rusak ternyata bisa digali dan dipakai lagi. ’’Hanya tetap harus hati-hati,’’ kata Salman yang setiap bulan bisa mendapat 1.000 pounds (sekitar Rp2 juta) saat masih aktif jadi kurir terowongan.

Untuk masuk, kami menggunakan tali tambang yang kami bawa tadi. Dengan cekatan Salman mengikatkan tali itu ke pohon tin dekat lubang. Kami turun seperti pendaki gunung. Tak terlalu dalam, sekitar dua meter. Kami lantas menuruni bagian dalam anfaq itu yang terus menurun. Senter yang kami bawa baru dinyalakan setelah di dalam terowongan. ’’Bahaya menyalakan senter malam-malam di areal perkebunan. Bisa ditangkap polisi,’’ kata Salman.

Meski mulut anfaq itu kecil, dalamnya ternyata lapang. Terowongan itu selebar satu meter dan tinggi sekitar dua meter. Saya baru paham mengapa kurir bisa menyelundupkan kambing (bahkan sapi) ke wilayah Gaza, Palestina. Karena cahaya hanya berasal dari senter, tetap saja terowongan berdinding tanah itu terasa gelap.

Sesaat perasaan claustrophobia (rasa takut saat berada di dalam ruang yang sesak) menghinggapi. Kami terus berjalan dan Salman terus meminta kami tak berisik. Beberapa terowongan seperti yang kami lewati itu saat masih aktif dulu ada yang dipasangi kawat listrik dengan penerangan lampu, sehingga kurir tak perlu repot pakai senter.

Saat menyusuri terowongan –total sekitar satu jam hingga kami kembali ke lubang tempat kami masuk– saya memang tegang. Sebab, dari kejauhan saya masih mendengar ada bom yang dijatuhkan oleh serangan udara Israel. Bagaimana bila ada bom di dekat kami yang membuat terowongan longsor, sementara kami masih ada di dalam.

Risiko bagi seorang kurir terowongan cukup tinggi. Pada 24 September tahun lalu lima kurir yang membawa BBM tewas. Itu setelah terowongan yang mereka lewati meledak. Tidak jelas apakah karena BBM yang mereka bawa sendiri meledak atau ada operasi oleh tentara Mesir untuk meledakkan terowongan ilegal itu. Yang jelas, selama 2008 saja sedikitnya 45 “manusia terowongan” tewas saat menjalankan tugasnya.

Tahu saya tegang selama berjalan di terowongan itu, Salman –yang saat itu ditemani dua kawannya– sempat menenangkan saya. ’’Insya Allah, tidak akan ada apa-apa,’’ katanya. Selama perjalanan itu, Rahmat, mahasiswa Indonesia yang kuliah Universitas Al Azhar, Kairo, menjadi penerjemah saya.

Rupanya, mulut terowongan yang berada di Palestina itu bercabang tiga. Salman mengatakan bahwa cabang yang di sebelah kiri menuju ke rumah salah seorang penduduk, yang tengah menuju kebun (tapi harus berjalan agak jauh lagi sekitar 500 meter), dan yang ke kanan adalah pintu keluar yang terdekat. Kami memilih yang kanan dan sampai di mulut terowongan di Rafah, Palestina.

Sampai di sana kami tak bisa keluar karena mulut terowongan berbentuk sumur (vertikal) setinggi 2 meter. Persis mulut terowongan saat kami masuk. Bedanya, kami menggunakan tali saat masuk, dan kali ini tidak ada orang Palestina yang mengulurkan tali untuk membuat kami naik.

Salman menambahkan, jarang ada kurir Mesir yang naik ke perbatasan itu. Biasanya, ada orang Palestina menunggu, melemparkan uang, dan mengulurkan tali untuk mengikat karung makanan tersebut. ’’Karena memang terowongan ini tidak untuk menyelundupkan orang, tetapi hanya makanan,’’ tandasnya.

Bagaimana dengan senjata? Salman menggeleng. Sepanjang menjadi kurir, dia mengaku tak pernah menyelundupkan senjata. ’’Tapi, beberapa teman saya pernah,’’ katanya.

Sepengetahuannya, senjata yang diselundupkan tak pernah banyak. Biasanya hanya senjata kecil sejenis pistol atau senapan serbu AK-47 Kalashnikov. Namun, Salman mengaku tak tahu banyak tentang hal itu.

Setelah beristirahat sejenak di perhentian terakhir, kami memutuskan balik ke tempat kami masuk sebelumnya. Saat menyusuri lorong itu, senter yang kami bawa cahayanya sudah tak seterang seperti saat berangkat. Hati terasa lega saat sampai ke lubang di kawasan perkebunan di Rafah, Mesir. Tali tambang yang terikat di pohon tin juga masih utuh, sehingga kami bisa melompat ke atas.(el/jpnn/fia)

Tidak ada komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com