Senin, Januari 12, 2009

Populer di Jepang, di Indonesia Tak Direspons

Bambang Widiatmoko, Doktor Laser dengan 30 Paten

JAKARTA (RP) - Dia adalah para peneliti yang telah menghasilkan karya bermanfaat bagi masyarakat, dan diakui dunia internasional. Sayang, perhatian negara untuknya terkesan kurang.

Salah satu peneliti itu adalah Dr Bambang Widiatmoko M.Eng. Pria 47 tahun itu menemukan alat yang bisa mencacah sinar laser. Bisa dibayangkan rumitnya, bagaimana sebuah sinar, apalagi sinar laser, dapat dicacah menggunakan alat temuan Bambang.

Temuan tersebut dinamakan Optical Frequency Comb Generator (OFCG), yakni pembangkit sisiran frekuensi optik.

Ini alat pencacah sinar laser yang lazim digunakan di perusahaan berbasis fiber optic. Temuannya itu juga telah dipakai berbagai industri komunikasi di Jepang.

Berkat temuannya tersebut, akhir November tahun lalu Bambang diberi penghargaan berupa medali dari The Habibie Center (THC), yayasan yang bergerak di bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Bambang dinilai sangat berjasa sebagai peneliti teknologi, khususnya ilmu rekayasa.

Peran Bambang dalam ilmu perekayasaan memang cukup banyak. Apalagi, dalam penelitian sinar laser. Di mancanegara, Bambang dikenal sebagai pakar laser. Dia mengaku kerap dikontak para peneliti asing yang mengembangkan penelitian tentang laser.

Selama 13 tahun belajar di Tokyo Institute of Technology, Jepang, untuk program S-2 hingga doktor, pria kelahiran Boyolali itu mencatatkan 30 paten di Negeri Sakura tersebut. Kebanyakan berbasis laser. “Sebagian temuan saya juga saya daftarkan ke Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, masih ada temuan saya yang belum dipatenkan,” katanya. Karya terbesar Bambang adalah OFCG.

Menurut Bambang, dulu para peneliti sama sekali tak terpikir bagaimana mencacah sinar laser menjadi ribuan sinar baru. Sebab, memecah sinar adalah pekerjaan sulit. Bila satu sinar yang dipancarkan perlu satu transmitor, kalau memancarkan banyak sinar, tentu juga perlu banyak transmitor. “Dulu alat-alat yang dibutuhkan untuk memancarkan itu bisa sebesar ruangan ini,” ungkap Bambang sambil merentangkan tangan menunjuk luasnya ruangan sekitar 16 meter persegi itu.

Dia menggambarkan, betapa ribetnya mencacah sinar laser saat itu. Alat itu, lanjut Bambang, dibikin pada 2000, saat dia baru lulus doktor.

Bambang pun mencoba berinovasi. Empat tahun berselang, berkat ketekunannya, Bambang berhasil menciptakan alat pencacah sinar laser yang hanya sebesar jari kelingking. Ini sebagai produk dasar. Dua tahun lalu dia menyempurnakan temuannya agar bisa diproduksi secara masal. Di tangan bapak dua anak itu, pemancar sinar tersebut disempurnakan dan ukurannya menjadi sebesar kotak P3K.

Bambang mengaku, temuannya itu terinspirasi oleh tiga peraih nobel fisika 2005. Mereka adalah Roy J Gluber, peneliti Harvard University; John L Hall, peneliti University of Colorado, dan Theodor W Hansch, fisikawan Max Planck dari Institut fur Quantenoptik Garching, Jerman. Dua nama terakhir merupakan karib Bambang dalam melaksanakan riset-riset fisika. ’’Rekayasa pencacah laser ini satu-satunya di dunia. Di Indonesia belum terpikir pemanfaatan alat tersebut,” ungkapnya.

Ketika masih di Jepang, Bambang memproduksi masal alat ciptannya tersebut. Bahkan, dia juga mendirikan perusahaan ventura bernama Optocomb. Bambang menggandeng dua sahabatnya. Alat yang dipasarkan itu berseri BK625SM. BK merupakan gabungan inisial Bambang (B) dan Kourogi (K). Kourogi adalah karib Bambang di Jepang. ’’Dulu saya sebagai perekayasa sekaligus pemasarnya,” jelasnya. Di perusahaan itu Bambang menjadi direktur.

Meskipun banyak uang mengucur ke kantongnya, pembawaan Bambang tetap sederhana. Dia tetap menyadari bahwa penelitian adalah fondasi hidupnya. Setelah balik ke tanah air tiga tahun lalu dan bekerja di laboratorium LIPI Serpong, Bambang perlahan melepaskan perusahaannya di Jepang.“Sekarang perusahaan itu sudah amat berkembang. Saya sudah lepas dari perusahaan. Tapi, kalau mau main-main ke Jepang tinggal kontak. Semua sudah disiapkan,” ujarnya.

Bambang mengaku amat terinspirasi dengan budaya orang Jepang. “Di Jepang itu banyak lab yang berdiri di ruko-ruko. Budaya penelitian di sana amat tinggi. Kalau di sini hanya pintar jual,” jelasnya.

***

Bambang pernah juga menghasilkan karya besar lain, yakni pendeteksi tsunami berbasis laser. “Alat buatan saya itu kini sudah dimanfaatkan di Jepang. Ditanam di dasar laut perairan Jepang. Prinsipnya, begitu tanda-tanda tsunami muncul, alat yang ditanam tadi akan mengirimkan informasi sinar laser ke stasiun di pinggir pantai,” paparnya. “Jadi, semua orang di daratan bisa mengantisipasinya,” katanya.

Bambang meyakinkan bahwa alat buatannya itu tak mudah hilang, seperti kasus alat pendeteksi tsunami di beberapa pantai di Indonesia. Kalau tak dihantam ombak, berita yang muncul dicuri nelayan yang usil.

Menurut Bambang, alat itu seperti tongkat yang ditanam di dasar laut. Sedangkan saat ini alat pendeteksi tsunami itu diapungkan dengan buoy. Apabila, buoy hilang dihantam ombak, lenyaplah alat tersebut.

Pria yang mengabdi di LIPI sejak 1987 itu pernah menawarkan temuannya itu ke Bappenas pada 2004. “Saya tunggu belum ada jawaban. Begitu saya kembali ke Jepang lagi, ternyata Aceh dihantam tsunami dahsyat itu,” ungkap lulusan FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja itu. Hingga kini, alat Bambang juga masih belum di pakai di Indonesia. Alat tersebut justru populer di Jepang.

Selain menemukan pendeteksi tsunami berbasis laser, Bambang telah menciptakan alat penghancur jarum suntik. Setelah menyuntik pasien, dokter tidak perlu membuang jarumnya ke tempat sampah. Cukup dimasukkan ke alat buatan Bambang, jarum akan melebur menjadi serbuk. Bakteri yang menghuni jarum tadi dipastikan mati. “Banyak alat serupa bikinan luar negeri. Tapi, banyak suster ketakutan, sebab alat itu memancarkan api,” jelasnya.

Untuk membuat alat tersebut, Bambang juga melakukan riset kecil-kecilan, bagaimana mengolah limbah medis itu di beberapa rumah sakit. Saat pulang kampung ke Boyolali, dia mampir ke beberapa Puskesmas. Dia melihat bagaimana sampah jarum suntik itu dibuang. “Ternyata jarum tadi dimasukkan kantong lalu ditimbun tanah,” terangnya. Bambang khawatir, sampah medis tadi akan menjadi malapetaka baru. Sebab, selain jarum tidak hancur, bakteri tadi juga tidak mati. “Apalagi itu campur-campur penyakit,” ungkapnya.(git/fal/kum/fia)

Tidak ada komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com