Kamis, Januari 01, 2009

Obama Membisu Sikapi Agresi Israel

HAWAII (RP) – Di mana Barack Hussein Obama saat Israel membombardir Gaza sehingga menewaskan lebih dari 380 warga Palestina? Sampai hari kelima serangan, Rabu (31/12), presiden terpilih AS itu sama sekali belum bersuara. Ini sangat aneh. Padahal, bulan lalu, ketika 11 teroris muda menyerang Mumbai, dia langsung mengeluarkan pendapatnya bersama seluruh tim transisi.

Sejak 21 Desember lalu, Obama menghabiskan 12 hari liburan Natalnya di Hawaii. Selama liburan, menurut seorang staf Obama, Presiden ke-44 AS itu sama sekali tak merencanakan acara formal. Dia baru akan kembali dengan pertemuan bisnis dan brifing intelijen pada 2 Januari 2009.

Diamnya Obama itu membuat dunia Arab, khususnya simpatisan Palestina, getir. Mereka harus menerima kenyataan bahwa kebijakan AS di wilayah Timur Tengah tidak akan berubah banyak saat Obama mengambil alih Gedung Putih, 20 hari lagi. ’’Dia ingin terlihat tenang dan dia berpikir akan bertindak seperti itu karena, menurut dia, konflik Arab-Israel bukan prioritasnya,’’ kata Hassan Nafaa, seorang ahli politik Mesir dan juga Sekjen Forum Pemikir Arab di Amman, Jordania, kemarin. ’’Posisi Obama memang sangat genting. Lobi Yahudi memperingatkan tentang pemilihannya dan dia memilih diam untuk itu (Gaza),’’ tambah Hilal Khashan, seorang profesor ilmu politik dari American University di Beirut.

Awalnya, dunia Arab sedikit gembira atas terpilihnya Obama November lalu. Mereka percaya, kebijakan Obama akan berbeda dengan kebijakan Bush yang segera lengser.

David Axelrod, penasihat senior Obama, kepada televisi CBS, Ahad (28/12), menyatakan, Obama tetap berkomitmen mengupayakan terwujudnya kesepakatan damai di Timur Tengah, yang pemecahan masalahnya tak kunjung bisa dicapai oleh para Presiden AS selama lebih dari lima dekade. ’’Obama terus memantau perkembangan situasi di Gaza di tengah masa liburannya di Hawaii. Dia mendapatkan penjelasan langsung baik dari Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice maupun intelijen AS tentang krisis Gaza,” ujar Axelrod.

Paul Woodward dari Conflicts Forum, sebuah organisasi yang berupaya mengubah persepsi Barat terhadap gerakan-gerakan militan muslim seperti Hamas, memperingatkan, diamnya Obama memang diharapkan oleh Israel. ’’Jika dia terus-menerus diam, maka bungkamnya itu akan dilihat dunia internasional dan memiliki dampak operasional berupa dukungan terhadap perang Israel di Gaza,’’ katanya.

Keputusan Obama membentuk tim kebijakan luar negerinya sekarang, khususnya Hillary Clinton sebagai menteri luar negeri dan Rahm Emmanuel sebagai Kepala Staf Gedung Putih, memperkuat perkiraan bahwa kebijakan luar negeri AS di kawasan itu tak akan berubah.

Mustafa al Sayed dari Universitas Kairo berkata, ’’Saya sangat pesimistis karena begitu melihat orang-orang yang mengitari presiden terpilih Obama, saya langsung tahu mereka adalah sahabat-sahabat Israel yang tidak akan berani berseberangan dengan posisi pemerintah Israel.’’ Sayed memperkirakan terjadi perang argumentasi dalam tubuh pemerintahan Obama, yaitu antara para penasihatnya yang mendukung status quo, yang semuanya sekutu Israel, dan penasihatnya yang lain yang memiliki pandangan berbeda dari kelompok pertama. ’’Menurut saya, para sahabat Israel (dalam pemerintahan Obama) akhirnya berhasil dan itu akan membuat pengaruh AS di kawasan Timur Tengah semakin anjlok,’’ papar Sayed.

Dia menilai Pemerintah Israel memilih menyerang Hamas sekarang, sebagian karena negeri itu tidak yakin bakal mendapat dukungan Obama jika serangan dilakukan setelah Obama resmi menduduki Gedung Putih pada 20 Januari 2009. ’’Tapi, negara itu tahu pasti Bush mendukung penuh mereka,’’ tegasnya.

Walaupun begitu, secara objektif, serangan ke Gaza telah berdampak besar kepada lanskap geostrategi yang bakal diwariskan kepada Obama. Jika Israel gagal menundukkan Hamas, gerakan perlawanan Islam terhadap Israel akan semakin kuat. ’’Itu akan membahayakan posisi Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Pemerintah Mesir, dua pemerintahan Arab di mana Amerika Serikat menggantungkan diri dalam menentukan kebijakannya untuk soal Arab-Israel,” papar Sayed.

Sebaliknya, jika Israel berhasil menghancurkan ancaman serangan roket dari Gaza, Obama akan lebih mudah mendesak pembicaraan langsung antara Israel dan Abbas sampai menyepakati sebuah perjanjian damai berdasarkan dua negara yang hidup saling berdampingan.

Walih Kazziha, profesor Universitas Amerika di Kairo, menyebut Obama akan mengambil langkah drastis jika dia menginginkan pulihnya pengaruh AS di Timur Tengah yang dilihat banyak orang anjlok dalam delapan tahun terakhir.

Tapi, sinyal pertama tidak menunjukkan Obama ingin mengubah keadaan itu. ’’Jika Obama ingin menegaskan pendiriannya, pasti dia sudah mengatakan sesuatu karena dia bisa berbicara apa saja asal dia menginginkannya,’’ lanjut Walih. (apP/nyt/kim/jpnn)

Tidak ada komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com